Kartu Terakhir

Tik-tok-tik-tok

Tik-tok-tik-tok

 

Dering detik menggiring mulai mengganggu.

Batuk gatal tempel gelisah seakan semua termangu.

 

 

Akan datangkah ia?

Sungguhkah?

 

Dengung berbisik merebak di mana-mana, bersama prasangka dan juga penghakiman yang dahului.

 

“Benarkah yang mereka katakan tentang dia?”

“Memangnya apa yang mereka katakan tentang dia?”

“B… Bahwa ia…
Bahwa ia adalah … ‘Sang Bintang’ itu…?”

“Hmph. Jangan terlalu menganggapnya tinggi.
Lagipula, mengapa kau menyebutnya ‘dia’?
Seakan ‘dia’ itu begitu hebat saja.”

“Ta… Tapi!
‘Dia’ kesayangan dari Yang Tinggi, ‘kan?
‘Dia’ lah satu-satunya yang boleh berjalan-jalan di hadapan takta Maha Tinggi!”

“Ya, tapi itu dulu. Sampai ia jatuh.
Ayolah, kau tahu semua kisah itu.
Kejatuhan memalukan yang sungguh menjijikan.
Apa yang harus dibanggakan?”

“Tapi kejatuhannya menghancurkan segala yang diciptakan sebelumnya!”

“Lalu? Yang Maha Tinggi sudah akan membuat yang baru.
Ke mana saja engkau selama ini?”

“T… Tapi teman-temanku banyak yang mengikuti ‘dia’.
Mereka bilang, hanya ‘dia’ yang cukup pintar untuk mengetahui tipuan Yang…
Yang Maha Tinggi…”

“Tipuan? Pintar juga ‘dia’.
Yah, jawabanku untuk itu sederhana saja.
Lihat teman-temanmu sekarang. Ada di mana?
Dan lihat Yang Maha Tinggi sekarang. Ada di mana?
Jelas?”

“Ta… Tapi…”

 

 

Terhenti, lidah tertarik dalam bukan sebab bukan sengaja.

Semua tertahan dan mendongak.

Emas terbuka, gerbang…

Mereka…

 

“…
Wah, wah…
Semua berkumpul, rupanya…”

 

 

Sungguh berbeda dengan dahulu.

Kemilau hadiah itu lenyap hilang kehancuran besar.

Sisa kedut dan nafas roh, hanya dingin dan cabut yang berada.

Langkah seret, jubah robek.

Hitam pekat yang bahkan menelan malam bulat-bulat.

Para pengikut, getar keras jerit di dalam.

 

“Halo Gabriel.”

 

Jangan hiraukan.

 

“Ah, Mikhael. Senjata barukah itu?
Sudah kukatakan…
Sudah kuduga.”

 

Licin bisa berular-ular.

Membelit apa yang bisa dibelit.

 

Hmph.

Sombong bangga sampah itu masih saja…

 

“Dari mana engkau?”

 

SENGAT!

Ha! Sudah kubilang aksi dan trikmu akan gugur di hadapan Cahaya itu!

Diam dan bertelut.

Dipaksa, berkerut.

Lemah wujud gentar terpampang memalukan.

Seperti apa yang seharusnya.

 

“…
Tidak dari mana-mana…”

 

Sujud serentak semua nafas ilahi yang ada di sana.

Begitu Sang Empunya Kehidupan beranjak turun dari Takhta Belas Kasih.

 

“Duduk.”

 

Meja kilau dan kursi berlian.

Sepasang, berhadap.

Jadilah ia dari apa yang belum pernah jadi.

Oleh Perkataan.

 

Dan meja itu…

Sungguh… Menawan…

 

Suara-suara asing…

Warna-warna asing…

 

Kami… Tak pernah melihat yang seperti ini…

 

 

“Ahh… Buatlah dirimu nyaman.”

 

Kerudung, keropeng.

Duduk.

Keriut anjak memundur.

 

Di hadap, Maha menatap.

Lembut dan asih.

Pada meja di hadap.

“Sudahkah kau lihat apa yang Kubuat?”

 

Tunduk, beranikan.

Angkat dan balas.

Susah payah…

Se… Seringai?!

TIDAK TAHU HORMAT!

 

Namun tak terganggu Maha bertanya.

“Hm? Seringai bukan jawaban, bukan?
Ada apa?”

 

Seringai. Serak.

“Tidak…
Aku… Aku hanya bertanya-tanya…
Apakah, ehm… Apakah Yang Maha Tinggi memiliki selera humor?
Apakah Yang Maha Tinggi menyukai permainan?
Karena aku memiliki permainan yang ingin kulakukan bersama-Mu.”

 

Diam, jari bertaut di atas meja.

“Lakukanlah.”

 

Kering, gemetar masih basahi tak arti.

Memandang ke meja.

“Jadi… Inilah ciptaan baru-Mu itu?
‘Bumi’, bukan begitu?
Ya, ya, aku sudah dan sedang melihatnya dan aku bertanya-tanya.
Apa yang berbeda dari dahulu?
Dari… Ah…
Dari apa yang telah kuhancurkan?”

 

Tenang.

“Apa yang berbeda dari apa yang telah Kuizinkan hancur bersama peristiwa pembuanganmu?
(Beberapa nafas ilahi tertawa)
Banyak.”

 

Kepal.

“Jelaskan.”

 

Tenang masih, kini beralih.

Mata itu tidak memandang ke seberang.

Ia mengarah dengan Kasih.

Pada meja ciptaan-Nya.

“Yang ini… Hidup.
Tidak semegah dan sekilau Taman Permata, memang.
Namun segala yang ada di sini…
Tumbuh. Berproses. Berjalan. Berkembang.
Seperti Kerajaan-Ku.”

 

Tak terkesan, dengus tinggi mengguncang meja.

“Kau hendak mengatakan bahwa makhluk-makhluk tidak abadi itu seperti Kerajaan-Mu?
Terlalu rendah untuk Yang Maha Tinggi, bukan?
Kau seharusnya duduk di langit teratas, bukan?
Bukankah nama-Mu saja sudah menyatakannya…
Maha Tinggi…”

 

Senyum.

“Kau masih belum mengerti juga.
Apa yang dimaksud dengan Tinggi.”

 

Tatap.

Mata merah pada Mata Damai.

Lama… dan…

“Ceritakan padaku tentang…
Ah…
Hari itu…”

 

“Hari apa?”

 

Taring.

“Hari di mana Yang Maha Tinggi turun bermain dengan ciptaan-Nya yang mati.
Saat Engkau membungkuk dan membentuk suatu kehinaan dengan jari-Mu.
Saat… Ah, kuharap aku mengatakannya dengan tepat?
Saat Engkau mencium kotoran dengan bibir-Mu yang Kudus itu.”

(Beberapa pengikut hitam terkekeh jahanam)

 

Kepal para nafas ilahi gemetar memandang!

Kekurang ajaran yang terjatuh sudah tak alang kepalang.

Berikan perintah, Tuan!

Dan ia akan kami jauhkan untuk selama-lamanya!

 

Renung sejenak, Yang Maha Tinggi.

Tidak mencari, tapi mengingat.

Dan…

 

Raut Wajah itu belum pernah kami temui sebelumnya…

“Kau melihatnya? Sesuai harapan-Ku kalau begitu.
Atau harus Kukatakan, dan Kuulang.
Sesuai izin-Ku.
Yah, apa yang dapat Kuceritakan tentang hari itu?
Hari itu hari terindah yang pernah ada dalam kekal-Ku.
Hari termanis dan tersedap dari segala yang sudah ada.Hari terbaik dan tersuci dari segala yang akan ada.

Hari di mana Aku menjadikan kekasih-Ku.
Cermin-Ku.
Gambar dan Rupa-Ku.
Aku di dalamnya, ia di dalam-Ku.
Kami satu, dan takkan terpisahkan.
Kasih terbaik.
Itulah hari itu.”

 

Tak percaya…

“Kau mengasihi debu sampai sebegitu?
Mempercayakan Diri-Mu pada mereka?
Wah, wah, wah…
Bagaimana pendapat para pelayan-Mu ini?
Hm? Bagaimana pendapat kalian?
Tuan kalian ini, yang kepada-Nya telah kalian bersumpah sampai kekal.
Ia tidak mengasihi kalian!
Sudah kukatakan berulang kali.
Sia-sia saja kalian mengabdi pada-Nya.
Ikutlah aku!”

 

Me… Menguar…

Panas amarah, tak pernah ada semenjak hari di mana ‘dia’ dibuang!

 

“Kau sedang bermain dengan-Ku, bukan begitu?
Tujukanlah pertanyaanmu pada-Ku dan hanya pada-Ku.
Bukankah begitu seharusnya dua pribadi berbincang?”

 

Berat dan keras, kembali.

“Kau mengecewakan semua yang mengabdi pada-Mu!
Takkan lama sebelum mereka mengikutiku!”

 

“Aku bersedia bertaruh untuk itu.”

 

Hening…

Condong, tertarik.

“Apa yang kau taruhkan?”

 

“Segalanya.”

 

“Bahwa mereka yang mengasihi Engkau takkan meninggalkan-Mu?”

 

“Dan bahwa yang Kukasihi takkan mengecewakan Aku.”

 

Gelak, gosok telapak girang dan kerak!

“Mari bertaruh kalau begitu!
Ah, mungkin para nafas ilahi-Mu ini akan mengerti perkataanku setelah sedikit pertunjukkan.
Sudah kutunggu-tunggu saat seperti ini!
Saat di mana aku mempermalukanmu tepat di hadapan takhta-Mu!”

 

Tak goyah tak terganggu, Tangan itu melambai.

“Permainan dimulai kalau begitu. Giliranku.
Kartu pertama.
Perkenalkan.
Adam dan Hawa.
Kekasih hati dan kesayangan jiwa-Ku.”

 

Kekeh, tak kendali dan liar merajah-rajah!

“Langkah pertama yang ceroboh, Maha Tinggi!
Sudah seringkali kukatakan pada pengikutku bahwa Engkau tidaklah sehebat itu.
Ini kartu-ku.
Kartu yang dengan bodohnya Kau serahkan ke tanganku!
Kehendak Bebas!”

 

Y… Yang Maha Tinggi…

Mengapa Engkau…

 

Kekeh gila masih terdengar.

“Bodoh sekali.
Telah kukatakan bahwa yang mengasihi-Mu, dan yang Kau kira mengasihi-Mu, kau sudah salah menempatkannya.
Adam dan Hawa-mu jatuh!
Kau kalah!
Aku sudah menghancurkan ‘Bumi’-Mu!”

 

Masih tanpa terusik, lambai.

“Kartu berikut.
Set.
Lihat, meski kau kira kau sudah menghancurkan mereka,
Adam dan Hawa tetap punya hati untuk berbalik pada-Ku.
Gambar dan rupa Adam ia temui pada putra ketiganya.
Ia ingat pada-Ku.”

 

Taring menguar menunjuk pada sekeliling!

“Ha! Berapa kali harus kukatakan!
Kau sendiri yang memberikan kartu as padaku!
Kehendak Bebas masih merupakan kartu terbesar di sini.
Kartu trufku!
Keturunan Set hanya satu keluarga.
Aku menguasai semuanya! Kau harus menghancurkan segalanya!Kau tak dapat hidup tanpa Kekudusan, bukan?
Ayo! Keluarkan Air Bah itu!
Hukum dan hancurkan yang Engkau Kasihi!
Aku menang!”

 

Senyum.

“Boleh juga, tapi jangan terlalu cepat senang.
Kartu berikut.
Nuh.
Keturunan Set dan cucu Henokh.
Orang yang berkenan pada-Ku.
Orang yang taat dan mengasihi-Ku.
Kuberi satu petunjuk.
Kehendak Bebas itu, bukan kartu as-mu.”

 

Gelora tawa membakar segala!

“Ha! Salah lagi, Maha Tinggi!
Sekarang segalanya sudah musnah dan harapan-Mu tinggal ada pada keluarga rapuh yang bodoh itu.
Dan, maaf…
Apa kata-Mu tadi?
Kehendak Bebas bukan kartu as-ku?
Lihatlah! Lihatlah!
Nuh-Mu mabuk dan mengutuk keturunannya sendiri!
Tepat di sana!
Akuilah kekalahan-Mu!
Yang Kau kasihi selalu mengecewakan-Mu!”

 

“Tidak. Masih ada kartu-Ku.
Sem dan keturunannya.”

 

“Ia gagal!”

 

“Abraham.”

 

“Ia tidak menunggu janji-Mu!”

 

“Ishak.”

 

“Ia penakut!”

 

“Yakub.”

 

“Ha! Orang bodoh macam begitu?
Ia anakku! Penipu!”

 

“Ia Israel sekarang.”

 

“Anak-anaknya akan merusak harapan-Mu!”

 

“Yusuf.”

 

“Dendam akan menguasainya!
Jika bukan ia, maka keturunannya!
Manusia-Mu tidak sekuat itu, Maha Tinggi.
Mereka tidak sesuci yang Engkau harapkan!”

 

“Musa.”

 

“Terima kasih untuk Hukum Taurat itu!
Kini semua orang akan semakin terjerat dalam jaring-jaring yang kutebarkan sejak dari Eden!”

 

“Yosua.”

 

“Ia gagal melahirkan penerus!”

 

 

Dan terus, dan terus…

 

Hakim-hakim…

Samuel…

Saul…

Daud…

 

 

Yang Maha Tinggi…

 

Mengapa…?

 

Mengapa Engkau membiarkan yang jatuh dan hitam merajalela di meja-Mu?

Kau dapat menghancurkannya dengan kedipan mata!

Melenyapkannya untuk sekekal-kekalnya!

 

 

Mengapa Kau masih percaya pada Manusia-Mu?

 

 

Kekeh, lelah dan habis nafas.

“Ini takkan pernah berhasil, Maha Tinggi.
Aku menang.
Dari awal aku menang, dan sampai akhir pun aku menang.
Yang Engkau kasihi mengkhianati-Mu!
Kini sudah saatnya para pengasih-Mu sadar.
Bahwa Yang Mereka Layani sungguh tidaklah sehebat itu!
Bodoh sekali mempercayakan taruhan-Mu pada kartu-kartu selemah itu.”

 

Masih…

Senyum…

“Ini kartu terakhir-Ku.
Aku menang.”

 

Putar mata.

“Tidak mungkin, tidak mungkin.
Kartu apapun itu takkan bisa…”

 

 

Belit lidah si ular terhenti.

Semua mata memandang.

Kartu tunggal di atas meja hijau yang mulai terusak.

 

Menghadapi kartu besar Kehendak Bebas yang telah tertumpuk oleh Dosa.

 

 

Tatap langsung, senyum lebar.

“Kartu terakhir.
Yesus Kristus, Anak Tunggal-Ku.”

 

Nga… nga…

Mata merah…

“Kau… Gila…”

 

Geleng.

“Tidak. Aku tidak gila.
Dan Aku menang.”

 

“Kau… Menyerahkan Anak-Mu demi…

Tidakkah Kau mengerti?
Tidakkah Kau mengerti?
MEREKA AKAN MENGECEWAKAN-MU LAGI!
MEREKA AKAN MENGINJAK PENGORBANAN-MU!
SIA-SIA DAN BODOH SEKALI, MAHA TINGGI!
SIA-SIA!”

 

Seluruh nafas ilahi terdiam menatap Punggung Cahaya di kursi berlian.

 

 

Tidak mungkin Ia melakukan ini…

 

Tak tahan, tak tahan, tak tahan!

GERAM AMARAH SI ULAR JAHANAM!

“MENGAPA KAU MENGASIHI MEREKA SAMPAI BEGINI?!
APA YANG KAU LIHAT DARI MEREKA?!
MEREKA GAGAL! MEREKA SAMPAH!
KAU GAGAL!
AKU MENANG! AKU MENANG!”

 

Senyum terpatri, Ia berdiri.

“…
Sampai jumpa di Kalvari.”

 

 

 

Ya…

 

Mengapa?

 

Mengapa Ia mempertaruhkan segalanya?

Mengapa Ia begitu percaya?

Bahwa Yang Ia kasihi takkan berpaling dari-Nya?

Bahwa Kehendak Bebas adalah senjata andalan-Nya?

Bahwa yang mengasihi Dia takkan pernah meninggalkan-Nya?

 

 

Kurasa… Tak ada jawaban yang lebih baik dari…

 

Karena Dia adalah Dia.

 

Kasih Terbaik.

Cinta Terbesar.

 

Amin.

Leave a comment