Berapa Buah ‘Tuk Diteruskan

Kelabu…

Mengarak Rabu…

 

Kosong, kosong…

 

Apa artinya lagi?

 

Hujan tidak, angin pun tidak…

Tapi…

Badai sudah… Dalam sukma…

 

Yang terkasih tiada tinggal…

Egois, surga sendiri…

 

Hela, gema…

Nafas dalam rongga…

 

Tiada jejak, tiada jejak…

Hanya…

Secarik waris…

 

Lelah, duduk…

Jari, elusi…

“Anakku”, katanya.

“Maaf…”

 

Maaf?

Tinggalkan kami, dan hanya maaf?

GERAM MENYENGAT!

Ke… pal…

Tak sampai… hati…

 

“Maaf buatmu bahagia begini, Nak.
Wah, kuharap, aku dapat ada di sana!
Lihat wajahmu, saat aku pergi nanti!”

 

Apa-apaan…?

 

“Hm, kau pasti bingung…
Baiklah, baiklah…
Terus baca saja, Nak… Dan kau akan mengerti nanti.
Oke! Aku takkan banyak bicara…
Seperti biasa, langsung pada pokok masalah.
Perhatikan baik-baik, jangan berhenti atau teralih!”

 

 

“Ini bukan sesuatu yang baru, sebenarnya.
Kakekmu sudah memecahkannya dahulu.
Aku hanya meneruskannya padamu.”

 

Kakek?

 

“Pertama-tama, angin.”

 

…?

 

“Ya, Nak.
Angin.
Jadilah seperti angin.
Tak ada tahu asal atau ke mananya pergi,
tapi tanpa ia, tak ada sejuk hari.
Jangan ingin diperhatikan orang,
tapi berusahalah, agar hadirmu dirasakan.”

 

“Lalu, berikutnya.
Detik.”

 

 

“Detik, Nak. Adalah satu yang lucu.
Lihat dunia, lihat benua.
Dengan waktu dan saat berbeda-beda!
Satu senja, lain pagi.
Satu malam, lain siang.
Tapi satu sama pada semua.
Detik.”

“Temukan itu pada setiap orang.
Lihat mereka.
Ada sepi, ada haus, ada geram, ada pahit.
Tapi satu yang sama…
Mereka butuh kasih.
Kasih sama pada semua orang, sama seperti detik pada semua waktu.”

“Satu lagi tentang detik, Nak.
Ia tak menyerah.
Tak lelah, tak berhenti.
Kecil, mungkin, tapi tidak kalah penting!
Jadilah detik.
Biar kecil, tapi berarti.”

 

 

“Berikutnya…
Cahaya.
Dan kegelapan.”

“Hm, aku yakin kau sudah mulai tersenyum sekarang.
Nah!
Jadilah cahaya, Nak.
Terang dan membutakan!
Butakan orang dari masalah mereka.
Biarlah keberadaanmu menjadi pil amnesia.
Berada dekatmu, temukan oase sesaat.
Sesaat itu penting, lho.
Ingat ‘kan? Pelajaran tentang detik tadi?”

“Lalu, kegelapan.
Jadilah gelap, Nak.
Gelap segelap-gelapnya!
Sampai mereka merasa aman sembunyi di dalammu.
Sampai mereka takut padamu!
Takut melakukan yang buruk… Karenamu.”

 

 

“Lalu, terakhir…
Hm…
Nak, kamu masih sering work-out?”

 

Ya, ya… Masih, kok…

 

“Ini pelajaran yang kupikir, akan kamu mengerti sepenuhnya.
Kalau harus lima puluh, jangan dua puluh lima, tapi sepuluh.
Aku takkan menjelaskan panjang lebar, kukira, kau lebih mengerti.”

 

Kalau terlalu berat, lakukan sedikit-sedikit?

 

Ya…

Aku mengerti.

 

“Sekarang, aku yakin kau sudah tersenyum lebar!
Jangan tangis, Nak!
Aku selesai, dan memuaskan pula!
Jangan tangisi aku!
Bahagialah!
Aku berhasil!”

 

 

“Sekarang, giliranmu.
Ini hanya beberapa untuk diteruskan.
Jalani hidupmu, setinggi kau mau!
Temukan hal-hal baru!
Dan pada saatnya nanti…
Wariskan ini…
Pada yang berikutnya.”

 

Ya…

 

“Asyik, ‘kan?
Sekarang hidupmu punya tujuan.
Hidupilah sedemikian rupa,
untuk yang berikutnya!”

 

Ya, ya, ya…

Cerewet sekali…

 

“Tertanda…
Pria Tua Kesayanganmu.”

 

 

“N.B.
Aku mengasihimu.”

Leave a comment