“Bagus ‘kan?”
“…”
“… Iih…
Kok diem aja?”
“…”
“Papa!”
“Ah… Iya, iya, Sayang…
Kenapa?”
“Papa nih! Kok malah ngelamun aja!”
“Aduh, maafin Papa ya, Nak…
Tadi kamu ngomong apa?”
“Ih… Gak tau ah…”
“Ehh… Kok marah?
Ayo, ayo…
Kamu wanita lho sekarang… Lady…
Jangan manja kay…”
“‘Kayak gadis lagi…’
Iya tau kok!
Tapi Papa nyebelin!
Kenapa ngelamun?”
“Hm… Nggak, Nak…
Papa cuma…”
“Cuma…?”
“…
Ah, nggak kok…
Kamu udah selesai?
Berdiri, yuk!
Kita lakuin yang biasa…”
“Aduh, Papa…
Kata Papa sendiri, aku udah gede!
Masa kita mau…”
“Hei, hei… Memangnya ada batas umur buat ini?”
“… Malu Pa…”
“Malu? ‘Kan kita cuma berdua di sini!”
“Ih… Maksa…”
“Ayolah…”
“Iya! Iya!”
“Ayo!”
“Bentar! Berat, Pa!”
“Dasar… Sini Papa bantu…
…
Nah… Siap?”
“Udah… Tapi ‘kan gak ada…”
“Ada kok…”
“Mana?”
“Di sini…”
“Papa ini…”
“Nak…”
“Ya…?”
“How do you feel?”
“…
Right now?”
“Yep.”
“…
Hm… Gugup…
Deg-degan… Takut…”
“Kok negatif semua?”
“Karena belum selesai ngomongnya, Pa…
Ada malu juga… Tapi…
Berpengharapan…”
“Bagus, bagus… Itu yang penting…”
“…”
“Ada yang lain ya? Apa?”
“…
Aku… Kadang…”
“Ya?”
“Ngg… Gak tau Pa…
Mungkin ini yang namanya demam panggung, ya…
Aku…
Nggak bisa berenti mikir…
‘Gimana kalau nanti gini…?’
‘Gimana kalau nanti gitu…?’
‘Kalau nanti ternyata gak gini gimana…?'”
“Hmm…”
“And i couldn’t sleep at all, Dad…
In these past weeks…
I keep…
I don’t know…
I keep waking up in the night…
Staring out to the darkness…
Feeling empty, but also full at the same time!
Could you believe it?
It’s crazy!”
“…”
“Papa! Kenapa ketawa!
Ketawain aku!?”
“Maaf, maaf…
Tapi… Memang lucu…”
“Lucu apanya!?
Papa! Anaknya galau begini malah diketawain!”
“Sstt… Tenang, tenang…
Wajar lah kalau kamu galau…
Justru Papa akan sangat heran kalau kamu nggak rasa apa-apa…”
“…
Wajar ya, Pa?”
“Iya, wajar…
Nah, sekarang…
Giliran Papa yang ngomong…
Dengerin ya?”
“…
Memang ada pilihan laen?”
“Nggak. Denger Papa.
Kamu takut? Itu wajar.
Kamu terus mikirin kemungkinan-kemungkinan? Sangat manusiawi.
Kamu gak bisa tidur? Mungkin agak aneh, tapi gak apa-apa.”
“… Terus?”
“Itu langkah pertamanya…
Dan itu pelajaran pertama Papa.
Inget ‘kan?
Badai apapun yang terjadi, kamu harus…”
“‘Ingat kalau semua itu normal… Karena hidup ini samudera luas…
Samudera tanpa badai, sama saja seperti manusia tanpa perasaan.'”
“Good!”
“Terus…?”
“Yap. Inget itu terus ya?
Sampai kapanpun…
Nah, sekarang pelajaran berikut.”
“Oke, Pa!”
“Inget waktu dulu?
Waktu Papa ajak kamu berlayar?”
“Ya?”
“Kita ketemu badai, ‘kan?”
“Iya…”
“Terus…?”
“Hmm…
Nggak kenapa-kenapa sih…
Papa cuma suruh aku duduk…
Pegangan erat…
Percaya sama Papa…”
“Ya. Dan sekarang, Papa mau ingetin kamu lagi.
Badai hidup pasti datang…
Tapi yang perlu kamu lakukan, sebenernya hanya duduk tenang.
Dan untuk bisa duduk tenang, kamu harus sadar dulu…
Kalau badai itu biasa…
Everyday’s event.”
“Mm hm…”
“Terakhir…
Ehm… Bukan terakhir, sih…
Second… No… Third to last.”
“Ya?”
“Kamu udah tinggal, tumbuh, besar, dan belajar di rumah Papa Mama.
Ini poin pentingnya.
Papa dan Mama, selalu berusaha menunjukkan sama kamu…
Gimana caranya hidup…
Gimana caranya mengasihi…
Dan kamu berhasil!
Jangan pernah lupa itu!”
“Yap!”
“Jadi, sampai sekarang…
Untuk menghadapi badai, kamu sudah punya tiga langkah…
Pertama…?”
“Sadar kalo badai itu biasa!”
“Kedua…?”
“Duduk tenang!”
“Ketiga…?”
“Lakuin semua yang Papa Mama udah ajarin!”
“Good!
Superb!
Itu langkah-langkahnya…
Coba, Papa tes… Apa kamu masih inget?
Kalau menghadapi pertengkaran?”
“Tarik nafas, lari ke kamar mandi, guyur kepala pake air dingin!
Setelah tenang, bicarakan lagi baik-baik…”
“Kalau menghadapi masalah yang terlihat besar?”
“Masuk kamar, kunci pintu, berlutut…
Curhat sama Tuhan…
Keluar dari kamar, kekuatan dan jalan keluarnya udah ada pasti.”
“Kalau menghadapi anak kecil yang rewel?”
“Sabar… Inget-inget kalau dia itu permatanya Tuhan!
Yang dititipkan sama kita…
Dari situ, gampang nenanginnya!”
“Terakhir…
Kalau anak kecil itu mulai bertanya-tanya?”
“Jawab dengan tenang dan tepat…
Gak kalah penting, jawab dengan detil!
Dari awal sampai akhir… Jelaskan sebab-akibatnya…”
“Good! Tuh ‘kan?
Kamu bisa…
Kenapa kamu bingung?”
“…
T… Tapi…”
“Tunggu… Ini second to last.
Denger baik-baik, Nak.”
“…”
“Papa tau berlayar itu gak mudah…
Mudah aja bicara, tapi ngelakuinnya susah…
Papa tau…
Dan Papa yakin kamu juga udah tau, apa yang Papa Mama ajarin ke kamu tentang itu…
Apa coba?”
“…
Kesalahan itu biasa?”
“Ya. Kenapa marah dan menyalahkan diri sendiri saat kamu bikin salah?
Kamu manusia, Sayang…
Tuhan juga tau kamu suka bikin salah…
Karena itu, Dia selalu di situ…
Siap ajarin kamu.”
“…
Ya, Pa… Itu satu…
Tapi… Yang paling aku pikirin akhir-akhir ini…”
“Sstt… Ini terakhir…
Papa belum selesai, Sayang…
Siap?”
“…”
“Papa bangga sama kamu…
Papa sayang sama kamu…
Ke manapun kamu pergi, gak akan merubah fakta kalau kamu anak Papa!
Kesayangan Papa Mama!”
“…”
“Jangan nangis lagi, Nak…
Udah…
Inget-inget aja itu, ya…”
“P… Pa…
Aku…”
“Sshh… Papa tau… Papa juga kok…
Tapi…”
“PAPA!”
“… Anakku…
Hidup gak berenti… Samudera luas itu tak pernah berenti…
Tapi… Kapal Papa udah berlabuh…
Kamu gak bisa rubah itu…”
“PAPA!”
“Terakhir… Inget…
Papa Mama sayang kamu…
Tuhan apalagi…
Sekarang…
Giliran kamu…
Jadi Mama yang baik buat anak-anakmu…
Jadi istri yang baik untuk suamimu…”
“PAPA!!!”
“Papa gak pergi, kok…
Dari pelabuhan, Papa liat…
Dan dari sana juga, Papa tunggu…
Pertemuan kita selanjutnya.”
“PAPA!!!”
“…
You okay, Honey?”
“…”
“Mimpi…?”
“…
Aku kangen Papa…”
“Sshh… Aku yakin Papamu juga kangen kok…
Makanya dia dateng ke mimpi kamu…”
“Iya…”
“…
You’re strong, Honey…”
“…
Iya, Honey…
Makasih ya…”
“Sama-sama…”
“PAPA! MAMA!”
“Hei, hei! Kok pagi-pagi udah ribut?”
“Kita kangen Papa Mama!”
“…
Aduuh, Anak-anak Mama ini…
Sini! Peluk Papa Mama!”
“Papa! Mama! Cerita lagi dong!”
“Cerita apa?”
“Tentang Kakek!”
“… Wah, ini sih keahliannya Mama!”
“Ah, dasar Papa… Ya udah!
Sini, sini… Duduk manis ya!
Biar Mama ceritakan…
Kisah tentang Pria terhebat di dunia…
Urutan kedua setelah Tuhan!
Papa kalian aja di bawah lho!”
“YEEEEY!”
“…
Biar Mama ceritakan…
Tentang Kakek…
Dan Dansa Tanpa Musiknya…”
jesusistheauthor 