Talk Show

Check… Check…
Uhm… Is this on?

OKAY! Selamat sore, pemirsa! Kembali lagi di acara kesayangan kita semua…
*atau barangkali aku sendiri* ehm…”

 

“Oh, jangan berkata seperti itu. Saya menyukai acara Anda.”

 

“… Begitu…? Anda baik sekali…
Ah, kembali lagi di acara kesayangan kita semua!
THE TRUTH!”

“Hm… Sepi sekali, ya?
Ke mana semua orang?”

 

“Ya… Ehm… Saya mungkin harusnya sudah biasa dengan hal itu…
Tapi tetap saja… Kurasa acara berjudul Kebenaran memang tidak akan membawa rating tinggi, sih.”

 

*tertawa*

“Jadi menurut Anda, judul yang tepat untuk acara mengagumkan ini apa?”

 

… *berpikir*

“Saya tak tahu… Mungkin sesuatu yang lebih menggairahkan…
Seperti… TONIGHT’S SHOW, mungkin?”

 

“Ah, terlalu biasa. Suatu understatement untuk isi acara yang begitu menggugah selera.”

 

“Oh? Begitu? Kalau begitu…
Tunggu… Anda tadi…
Ehm… Saya…”

 

“Anda tidak salah dengar. Telinga Anda masih berfungsi dengan baik.
3x saya menyatakan pujian bagi acara Anda ini. Meskipun saya rasa, pujian bukanlah kata yang tepat untuknya.”

 

“…? Mengapa?”

 

*tertawa*

“Karena, Kawan. Pujian adalah frasa yang diucapkan dengan tujuan membesarkan hati sang pendengar.
Apakah frasa itu betul atau tidak, siapa yang tahu?
Yang saya sampaikan adalah admiration.
Jauh lebih dalam, jauh lebih tulus, dan…
Sangat mencerminkan judul acara yang sangat cantik ini.”

 

*hela nafas getir*

“Yah, saya rasa… Terima kasih…
Tapi…
Ah, sudahlah. Mari kita mulai sesi kita…
Ehm, sebelumnya… Saya minta maaf.”

 

“Untuk apa?”

 

“Yah… Anda tahu…
Anda tak pernah menikmati wawancara dalam sorot mata senihil ini, ‘kan?”

 

*tertawa*

“Aduh, ya ampun. Sorot mata nihil.
Kata-kata yang baik sekali, namun  sayangnya, salah.”

 

“Salah?
Tapi Anda hanya menjawab pertanyaan-pertanyaan dari orang-orang penting, bukan?
Ribuan sih terlalu kecil bagi Anda.
Paling sedikit harus jutaan…”

 

“Betul. Saya hanya menjawab pertanyaan dari orang penting.
Which is exactly why I came here.
Dan… Izinkan saya menyampaikan satu koreksi lagi…
Saya SANGAT menikmati sesi wawancara kita, bahkan sebelum apapun dimulai di dalamnya.”

 

“…
Ba… Bagaimana bisa…?”

 

*tatap, dan kernyit heran*

“Lho… Apanya yang ‘bagaimana bisa’?”

 

“Sa… Saya…
Ehm…
Saya tak pernah mendapat kesan bahwa acara saya sepenting itu…”

 

*angkat jari, goyangkan pelan di depan kamera*

“Tsk, tsk…
Kawan lama, di situlah Anda salah memahami ucapan saya.
Saya tak pernah merujuk pada acara ini saat kata penting meluncur dari langit-langit bibir saya.
Saya merujuk kepada ANDA.”

 

“A… Apa…?”

 

“Satu-satunya alasan yang cukup kuat untuk membuat saya datang ke sini.
Dan juga satu-satunya yang saya perlukan.
Anda. Dirimu, Kawan.”

 

“A… Tunggu dulu…
Bagaimana mungkin?”

 

“Hm! Lagi-lagi ‘bagaimana’.
Memang ‘bagaimana’ itu penting, Kawan. Sangat penting, malah.
Namun saya termasuk segelintir orang yang percaya bahwa ‘siapa’ adalah pertanyaan yang lebih krusial.”

 

“‘Siapa’?”

 

“Ya! Begini, Kawan.
Saya menyanggupi tampil untuk Anda karena ‘Siapa’ Anda bagi saya.
Bukan karena ‘bagaimana’ kualitas acara Anda di mata siapapun juga.
Completely irrelevant.”

 

“…
Me… Memangnya…
Memangnya ‘siapa’ saya bagi Anda?”

 

*gelak tawa, antusias dan menggosok tangan*

“Ini dia! Pertanyaan yang saya tunggu-tunggu!
Maafkan kegembiraan saya. Namun saya sudah menunggu lama untuk ini.
Terlalu lama, bahkan… Kita bahas lain kali.
Boleh saya tinggalkan sapaan-sapaan formal ini dan beranjak ke anak tangga ‘Aku dan engkau’?”

 

Orang ini…

Lihatlah dia…

Melonjak sana-sini di atas sofa ketinggalan zaman.

Tawa bersih liar menyapu ruang siar temaram.

Orang ini…

Sungguhkah dia yang dimaksudkan semua orang dengan…

 

“… Kawan…?
Kau masih bersamaku?”

 

“A… Apa…?
Oh… Ya, tentu saja! Jadi… Apa kata Anda tadi?”

 

“Ah, aku baru saja menceracau soal takhta dan palungan, tapi kita akan tiba di topik itu nanti.
Bagiku, Kawan, biar kuulangi kembali. Tak perlu merasa bersalah!
Kau adalah sahabat terbaik yang selama detik berlari, akan selalu kurindukan kehadirannya di sisi.”

 

“Aku… Sahabat…?
Kita bahkan belum saling mengenal!”

 

Itu dia…

Senyum khasnya yang selalu menghiasi segala macam media yang terpikirkan dibuat oleh manusia.

Senyum terkenal tak tertiru yang memikat hati jutaan seniman dan jurnalis.

 

“Salah besar, Kawan.
Sudah sejak lama aku mengikuti, dan mengetahui jejakmu.”

 

“…
Ja… Jadi maksud Anda…
Anda telah mengetahui acara saya sebelumnya?
Saya… Saya terkejut, jujur sa…”

 

“Acara? Tidak, Kawan!
Jangan terburu-buru melompat ke dalam kolam pendapat dan kesimpulan!
Sekali lagi kutekankan, Kawan.
Ini bukan tentang acaramu atau acara siapapun itu.
Ini adalah tentangmu.”

 

“… Ma… Maaf, saya masih belum…”

 

“Hm… Sudah kuduga…
Maaf, bukan bermaksud meremehkan kualitas intelektualmu *yang aku yakin pasti mencengangkan*, tapi memang banyak orang yang…”

 

“Bisakah… Bisakah Anda hentikan itu?”

 

“… Hentikan apa?”

 

“I… Itu…!
‘kualitas intelektualmu *yang aku yakin pasti mencengangkan*’
‘acara mengagumkan’
Saya… Saya lebih menghargai kebenaran yang menyakitkan dibanding pujian yang dipaksakan!”

 

“Ah, ah… Maafkan aku, tapi… Lagi-lagi kau salah, Kawan.
Aku percaya aku telah mengatakan hal senada di awal sesi kita tadi.
Aku tidak memuji. Aku memberikan admiration.”

 

“Apa bedanya? Oh tolong.
Saya sudah menerima banyak kritik seumur hidup saya. Terlalu banyak, mungkin.
Namun jika Anda berpendapat saraf saya telah dilemahkan begitu rupa sehingga tak mampu menerima kenyataan, maka…”

 

Stop. Hentikan sejenak, Kawan.
‘Kenyataan’… Apa yang kau maksud dengan kata itu?”

 

O… Orang ini…!

Filsuf paling cemerlang sepanjang zaman, ia terkata!

Pemikir tanpa tanding seumur hidup sebuah bumi, ia juga terkata!

Jadi beginilah akhirnya…? Seperti yang sudah diduga…!

“Anda bermaksud mengejek saya?
Saya tahu saya tak sepintar Anda, tapi…
Tolong hentikan senyum itu!”

 

“Aku betul-betul minta maaf! Kalimat-kalimatmu memicu zat kimia lucu dalam jaringku, hasilnya aku tergelitik dan tersenyum.
Namun aku harus meyakinkanmu, Kawan. Tak pernah tebersit dalam benakku, sedetik pun!
Untuk mengejek atau merendahkanmu.”

 

“Lalu apa maksud Anda dengan pertanyaan-pertanyaan itu?
Gaya Anda seolah sedang mengajari anak SD yang baru menemukan angka untuk pertama kalinya!”

 

“Benarkah? Wah, aku harus berkaca lebih sering kalau begitu!
Maaf, sungguh maaf, Kawan.
Namun pertanyaanku tadi bukanlah untuk menantang apapun darimu.
Keingin tahuan murni, tidak lebih dan tidak kurang.
Apa yang hendak kau sampaikan dengan kata ‘kenyataan’ tadi?”

 

Karismatik, menawan, dan kontroversial.

Begitulah yang kudengar tentangnya.

Namun semakin dalam percakapan ini berlangsung, hanya satu kesan yang kudapat darinya…

“Anda gila! Memangnya bagaimana saya dapat menjelaskan apa ‘kenyataan’ itu?!
‘Kenyataan’ ya ‘kenyataan’!
Realitas! Kasat mata! Sehari-hari! Fakta! Tak tergoyahkan!”

 

*angguk*

“Betul. Kau baru saja memaparkan *dan dengan sangat baik pula* definisi dari ‘kenyataan’.
Tapi itu bukan pertanyaanku.
Aku ingin kau menjelaskan… ‘Kenyataan’ yang kau maksudkan ini…
‘Kenyataan’ yang mana?”

 

“Apa sih maksud Anda?”

 

Ya ampun… Apa yang baru saja kulakukan?!

Menghardik narasumber terkenal yang bersedia datang ke acara sampah ini?!

Bodoh! Bodoh!

“Ehm… Maaf… Maafkan saya…”

 

*tak terlihat menghiraukan pernyataan akhir tadi*

“Bagaimana dengan sebuah pilihan?
Mana yang kaupilih sebagai kenyataan menurut hematmu, Kawan?
A. Liverpool adalah klub sepakbola yang mengagumkan
B. Saat ini mereka duduk di peringkat 9 klasemen sementara Liga Inggris.”

 

“Saya… Uhm…
Saya kira jawabannya B.”

 

“Aku pun sependapat! Hebat sekali.
Nah, kalau begitu… Menurutmu, Kawan…
Disebut apa pilihan A tadi?”

 

“… Saya tidak tahu…
Ehm… Opini…?”

 

*tepuk tangan gembira*

“Lagi-lagi kita sependapat! Nah, nah…
Sekarang mari hubungkan dengan kasus kita.
Aku menyampaikan admiration padamu dan menurutmu, itu bukanlah kenyataan, bukan begitu?”

 

“Yah, soalnya laporan dari perusahaan TV dan ulasan dari majalah…”

 

“Kita telah setuju. Maaf aku harus menyelamu, Kawan. Aku berjanji kau akan mendapatkan kesempatan untuk menyelesaikannya nanti.
Kita telah setuju bahwa lawan dari kenyataan adalah opini.
Sekarang, izinkan aku mengajukan satu pertanyaan.
Laporan dari TV… Ulasan majalah…
Gunjang ganjing para kru dan audiens…
Tidakkah kau setuju bahwa semua itu dapat dikategorikan sebagai opini?”

 

“Tapi…”

 

“Dan tidakkah kau setuju bahwa aku seharusnya menambahkan sebuah kata mendahului opini. Yakni sekedar.
Sekedar opini?”

 

“Tapi…
Itu tulisan dan pendapat dari para ahli bisnis hiburan.”

 

THAT’S IT!
ITU KATA KUNCINYA, KAWAN!”

 

“… Maaf…?”

 

“PENDAPAT! Itu kata kuncinya! Pendapat!”

 

“… Maafkan saya, tapi… Bukankah pendapat para ahli sudah dapat disamakan dengan kebenaran?”

 

*geleng muncul dengan antusias*

“Berbeda sekali, Kawan. Jauh berbeda.
Sejauh langit dari bumi, kalau aku boleh mengibaratkan.”

 

“Tapi… Mereka ahli…”

 

“Betul, mereka ahli. Tapi mereka masih tergolong suatu spesies yang untungnya, perkataannya tidak mempengaruhi apapun kecuali hidupnya sendiri bernama manusia.”

 

“… Maksud Anda…?”

 

“Manusia, dianugerahi kecakapan dan kemampuan untuk memberi dan menerima pengaruh.
Kemampuan yang sayangnya, terlalu dinilai tinggi oleh sesama mereka sendiri.”

 

*duduk tegak*

“Ini dia. Pernyataan yang sering sekali Anda sampaikan di depan umum.
Inilah pertanyaan saya.
Apa maksud Anda dengan itu?”

 

“Manusia itu didesain sedemikian rupa sebagai satu entitas yang dependen.
2 arah, jika kau lebih suka.
Mereka tidak menghasilkan, dan tidak membuat.
Mereka menerima, dan dari apa yang mereka terima, mereka memberi.”

 

“…”

 

“Dan masalah utama dari sistem yang seharusnya begitu sederhana itu adalah satu lagi anugerah yang ditanam dalam diri para entitas tersebut.
Pilihan, namanya.”

 

“Pilihan…? Ini…
Ini baru bagi saya… Saya tak pernah mendengar Anda menyebut-nyebut tentang…”

 

“Manusia tidak dapat memproduksi, pernyataan kunci untuk sesi kita ini.
Manusia menerima dan memberi.
Namun di antara dua proses tersebut, terletaklah pilihan bagaikan roda keberuntungan yang senantiasa berputar.”

 

“Saya tidak…”

 

“Dan roda inilah, yang menjadi sumber masalah.
Target utama serangan virus bobrok bernama kejahatan.
Pilihan.”

 

“…”

 

“Kasus mengerikan, Kawan. Kasus mengerikan.
Menyedihkan sekali melihat mereka berlalu lalang seperti itu.
Berlarut-larut.
Manusia menerima apa yang baik, namun roda mereka berputar balik dan mereka memberi apa yang jahat.Manusia menerima apa yang jahat, dan sedih sekali. Roda itu tidak berputar dan keluarlah lagi apa yang jahat.”

 

“…”

 

“Nah! Ini ‘kan sumber masalahmu juga!
Maafkan aku harus seterus terang ini, Kawan tapi kau menerima yang jahat, tidak diragukan lagi.
Kritikan pedas, penghakiman tiada bertimbang, kecaman, dan banyak lagi…”

 

“Tapi… Tapi saya tidak memberikan apa yang jahat kepada mereka!
Saya tidak membalaskan apa-apa!”

 

“Betul. Dan terima kasih untuk itu.
Namun yang namanya pilihan, dibuat untuk selalu berputar, Kawan.
Jika kau memutuskan untuk menghentikan putarannya, maka kejahatan-kejahatan itu akan bertumpuk dan memberi kabut pada penilaianmu, yang seharusnya tidak seburuk itu.
Itulah, yang melahirkan kenyataan palsu yang… sayangnya… Engkau anggap sebagai kebenaran…”

 

“… Jadi… Maksud Anda…
Saya seharusnya membalas…”

 

“Tentu saja tidak!
Tapi… Ya ampun…
Karena inilah seluruh dunia menderita! Dan karena inilah juga aku harus datang menghadiri undanganmu untuk berbicara tentang kebenaran di acara kesayanganku, pada sahabat kesayanganku!
Roda bernama pilihan itu tidak harus selalu berputar ke arah yang sama!
Kalian, manusia, kalian memiliki kekuatan untuk memutarnya ke manapun kalian mau!”

 

“A… Apa…?”

 

“Oh ya! Kalian punya kekuatan itu.
Jika kalian menerima apa yang jahat, kalian punya kemampuan untuk memutar roda ke lain arah, dan memberikan apa yang baik sebagai gantinya.”

 

“… Tapi… Tadi Anda katakan…
Kami tak bisa memberi apa yang tidak kami terima, ‘kan?
Kami tidak menerima kebaikan, jadi bagaimana…”

 

RRRRRIIIIIIINGGGGGG!!!

RRRRRIIIIIIINGGGGGG!!!

 

*dongak*

“Waktunya habis, ya?”

 

“Tu… Tunggu dulu! Saya mohon tunggulah sebentar!
Anda belum memaparkan kesimpulan akhir dari…”

 

*bangkit, rapikan, dan senyum*

“Kesimpulannya telah kita capai di awal tadi, Kawan.
Bukan bagaimana yang penting, tapi siapa.
Bukan bagaimana kalian bisa memberi yang baik dari yang jahat,
tapi SIAPA yang bisa membantu kalian melakukannya.”

 

*pana*

“Ja… Jadi…”

 

*senyum*

“Akulah Jawabannya. Akulah Kenyataan yang Paling Nyata.
Nah, terima kasih untuk wawancara singkat ini.
Sungguh menyenangkan!
Oh ya, maaf aku tak dapat tinggal untuk penutupan acara indah ini.
Kau tahu harus menghubungiku ke mana, ‘kan?”

 

“Tunggu! Tapi… Bagaimana… Bagaimana jika tidak ada orang yang menyaksikan acara ini?
Mereka harus tahu jawabannya, bukan?”

 

*setengah jalan, berbalik*

“Sekali lagi, Kawan.
Bukan bagaimana jika…
Tapi siapa yang harus pergi menyebarkan jawaban ini pada mereka.
Selamat tinggal.”

 

“A… Mengapa kau secepat ini pergi?!”

 

“Urusan biasa…
Ceracauku tadi soal takhta dan palungan…
Sampai bertemu lagi…”

 

Dan di sanalah aku terduduk…

Tercengang, namun terpuas…

Dia…

Dia sungguhlah yang orang-orang katakan…

Ah… Dua tugas, kalau begitu…

Pertama…

“BAIKLAH! SELAMAT MALAM SEMUA! TERIMA KASIH UNTUK PERHATIAN DAN KERJA SAMANYA YANG BAIK!
SAMPAI JUMPA DI ‘THE TRUTH‘ SELANJUTNYA!
SAYA, ADAM DAVID, MEWAKILI NARASUMBER KITA YANG LUAR BIASA MALAM INI, HENDAK MENYAMPAIKAN PESAN TERAKHIR!”

 

… Ya…

Tidak ada pesan yang lebih baik…

“ANDA SEMUA MEMILIKI PILIHAN YANG BAIK DAN YANG JAHAT!
DAN JIKA ANDA MERASA RODA PILIHAN ANDA MACET ATAU BERPUTAR KE ARAH YANG SALAH, SILAKAN HUBUNGI DIA!
SELAMAT MALAM!”

 

Dia…

Ya… Dia…

Hmph… Ceracau, ya?

Aku bertaruh saat ini kau sedang berjalan kepada palungan yang kau sebut-sebut itu…

Selamat menyebarkan jawaban… pada mereka yang selalu kau anggap berharga…

Kawan Lama…

Leave a comment