Let’s Build An Igloo!

Satu cerita, dua lelaki…

 

 

Bersama, tumbuh…

 

Bersama, penuh…

 

 

Putih, bunga-bunga, dan awan…

 

Tumpuk, melalu…

 

Timbun, selalu…

 

 

Muda, dewasa,

 

Keluarga, hangat, dan cinta…

 

 

Seumur hidup, hari, dan waktu…

 

 

 

“Hei!”

Sapa Satu.

 

 

“… Oi…”

Sapa Dua pada Satu.

 

 

“Apa kabar?”

 

 

Lamun, dongak ke pagi.

“Yaahh…”

 

 

Kerut, Satu merengut.

“Ada apa?”

 

 

Angkat bahu.

“Tak baik.”, ujarnya.

 

Susul, kedik atas. Tuju kelabu.

“Cuaca begini sih… Tak lama lagi pasti badai…”, keluhnya.

 

 

Senyum, Satu mengerti.

“Ah, begitu menurutmu?”

 

 

Decak, balik.

“Ya sudah. Selamat tinggal.”

 

 

“Sampai nanti!”

 

 

 

Hm… Wah, wah…

 

Cakap, cakap, cakap…

 

 

Salju dengar, bawa ke angin…

 

Angin tahu, terus ke awan…

 

Awan sadar, langsung ke langit!

 

 

Malam pun, menjawablah!

 

 

 

 

“APA-APAAN!?”

 

 

Wuah! Apa gerangan?

 

 

Gedebak gedebuk!

 

Satu turun dia menubruk!

“Ada apa? Ada apa?”

 

 

Tendang! Banting!

“SIALAN! SIALAN!”

 

 

 

Wuah… Dua mengamuk!

 

Sejadi-jadinya!

 

“SIALAN! BADAI SIALAN!

HABIS SEMUA TUMBUHANKU!

MAKANANKU! ASTAGAAAA!!!”

 

 

Satu mendekat, terkejut ia!

 

Hancur! Tak tersisa!

 

Bangkai, semua beliung!

 

 

Tak tahu… Kata apa…

 

“Kawan… Tenangla…”

 

 

“BRENGSEK! MEMANG BRENGSEK!

ALAM SIALAN!

MEMANG SALAHKU TINGGAL DI SINI!

TERKUTUKLAH KAU LANGIT!”

 

 

“Hei, hei…

Tidak baik berkata begi…”

 

 

“DIAM! PEDULI SETAN!

IA MENGHANCURKAN LADANGKU!

KENAPA TIDAK SEKALIAN SAJA HANCURKAN RUMAHKU!?

BRENGSEK!!!”

 

 

 

Hm…

 

Seperti kau tahu, semua pun t’lah tahu!

 

 

Tanah, salju, angin, dan awan…

 

Dan tentunya…

 

Langit!

 

 

 

“BRENGSEEEEEEEEEK!!!”

 

 

Lagi!

 

Mengejut lagi!

 

 

Gopoh-gopoh!

“Ada apa?”

 

 

“UAAAAAAAAAAAAAAARGH!!!”

 

 

U… Uah…

 

Puing…

 

Desing, desing…

 

Serak oleh angin…

 

 

Dongak!

 

Tinju tantang!

 

“SIALAN KAU LANGIT!

RUMAHKU…! RUMAHKU…!

AAAAAAAAAAAAAAAAAAAAARGH!!!

SIALAN! SIALAN!

APA KAU BEGITU INGIN MEMBUNUHKU!? HAH!?”

 

 

“H… Hoi, hoi, tetangga!

Hentikan itu! Jangan katakan lagi!”

 

 

“DIAM! AKU TAK PEDULI LAGI!

BRENGSEK! BRENGSEK!”

 

 

Hela nafas… Tidak kali ini!

 

 

“H… HEI!?

APA-APAAN…!?”

 

 

“Diam! Sekarang kau diam!

Sekarang, kau yang harus menurutiku!”

 

 

“K… KE MANA KAU…!?”

 

 

“Sudah jelas, ‘kan?

Kau tak punya rumah lagi, Kawan!

Hendak kau taruh di mana istri dan anak-anakmu?

Malam ini, kau tinggal di rumahku!”

 

 

 

 

 

Telusur, telusur…

 

Marah, tunduki meja…

 

 

“Ada apa, Yah?”

 

 

Senyum, belai.

“Badai, Sayang… Tapi sudah tidak apa-apa…

Tidurlah lagi bersama Ibu.”

 

 

Setengah… Tatap.

“Mengapa Paman ada di sini?”

 

 

“Nak, Nak… Tidurlah…

Masih terlalu pagi.

Ya?”

 

 

“… Baiklah, Yah…”

 

 

Hela nafas, duduk.

“Ini cokelat panasnya.

Maaf ya… Anak kecil…

Ah, Dik? Ini cokelatmu!”

 

 

Diam… Dengus.

“Terima kasih, tapi tak usahlah…”

 

 

Tegun…

“M… Mengapa?”

 

 

Geleng.

“Tidak usah, terima kasih.

Sekarang, permisi.”

 

 

Kerut…

Mengerti.

 

Bangkit segera!

 

“Tunggu, tunggu…

Baiklah… Aku mengerti bahwa kau tak ingin menginap di sini, tapi…

Kau tak keberatan ‘kan, jika aku meminta bantuanmu?”

 

 

… Hela…

“Bantuan apa?”

 

 

Seringai!

“Ayo, ke belakang.”

 

 

 

 

Kesal, s’makin menjadi!

“Apa sih? Mau apa kita ke sini?”

 

 

Seringai, masih.

“Ini.”

 

 

“A… Apa ini…?

Apa-apaan?”

 

 

“Peganglah. Dan bantu aku.”

 

 

“Kau mempermainkanku?”

 

 

“Sama sekali tidak, Kawan.

Sekarang, diam, ikuti aku.”

 

 

 

Bungkuk, angkat, susun…

 

Bungkuk, angkat, susun…

 

Bungkuk, angkat, susun…

 

Bungkuk…

 

 

“Hei! Jelaskan padaku apa yang…”

 

 

Tidak, tidak hirau…

 

 

Bungkuk, angkat, susun…

 

Bungkuk, angkat, susun…

 

 

 

Lama…

 

Terpana…

 

 

Bangkit, lurus punggung!

 

Puas kentara!

“Selesai!”

 

 

Cengang…

“A… Apa…”

 

 

Decak!

“Dasar, akhirnya kau tak membantu sama sekali!

Ya sudahlah.

Nah, selamat datang di rumah barumu!

Silakan pindahkan barang-barangmu yang selamat dan kabarkanlah pada keluargamu!”

 

 

M… Masih…

 

 

“Ah…”, alis angkat Satu. “Masih tak mengerti?”

 

 

Polos… Ge… leng…

 

 

Kekeh.

“Yah, Kawan. Hal ini tak perlu dimengerti.

Hanya perlu dilakukan.”

 

 

“T… Tapi…!”, belum puas!

“Dari mana… Mengapa bisa…”

 

 

“Dari mana?”, kerut. “Kok bingung? Ya ini dari badai yang dua hari kemarin itu!”

 

 

“… B… Badai…?”

 

 

Angguk.

“Ya. Dan sekarang, cepatlah masuk!

Istri dan anak-anakmu butuh perlindungan!”

 

 

Sikukuh!

“Aku takkan bergerak sebelum kau jelaskan apa artinya ini!

Apa arti perbuatanmu ini?”

 

 

Diam…

Angkat bahu.

“Yah, Kawan. Ada dua yang penting, tapi tiga berarti.

Pertama, tangan… Kedua, mulut.

Terakhir, pikir.”

 

 

“…”

 

 

“Lain kali, jika lihat langit kelabu, jangan pikirkan badainya.

Kalau pikir badai, jadi begitu.

Mulut mengeluh, tangan diam.

Pikirkan keluarga dan masa depanmu.

Maka mulut diam, tangan bekerja.”

 

 

“…”

 

 

“Juga, setelah badai datang, jangan lihat rusaknya.

Kalau pikir rusaknya, yaa…

Mulut mengutuk, tangan menantang.

Pikir lagi keluarga dan masa depanmu.

Harus apa setelah ini?

Maka mulut tersenyum, tangan bekerja.”

 

 

“…”

 

 

“Nah?”

 

 

“…

Terima… Kasih…”

 

 

“…”, senyum. “Sama-sama…”

 

 

 

 

Lain kali, kalau datang hinaan, cobalah saja…

 

 

Bungkuk, ambil, susun…

 

Bungkuk, ambil, susun…

 

 

Tergantung apa pikir, ‘kan?

 

 

Susun rumah…

 

Atau senjata…

Leave a comment