
Hei Cinta…
Ingatkah yang t’lah lalu…?
Adakah tersisa…?
Dulu…
Bersama selalu, kita…
Dulu…
Tak lelah ria gembira…
Cinta…
Ke mana?
Waktu memang mengalir…
Sederas sungai, menuju lupa…
Tapi, Cinta…
Mengapa tiada?
Ke mana kemesraan?
Ke mana kasih sayang…?
Dulu indah, kini berdarah…
Dulu cantik, sekarang berisik…
Cinta…
Aku masih menunggu, lho…
Menunggu kamu…
Menunggu kita…
Menunggu…
Cinta, kamu sering mengeluh…
Tak cukup!
Tak puas!
Lebih! Lebih! Lebih!
Ingin lebih!
Lho, aku berusaha…
Tapi kasih ‘kan dua, Cinta…
Bukan satu atau sebelah…
Mengapa…?
Mengapa tak berhati…?
Tahukah, Cinta?
Aku pun sakit!
Sakit harus begini!
Mana mau aku menyusahkanmu!
Tapi, Cinta…
Sudah kubilang…
Cinta itu dua…
Tolonglah…
Tolong…
Ini ketuk terakhir…
Mohon terpilu…
Semoga terdengar…
Kembalilah dan jangan pergi…
Hatimu untukku, aku untukmu…
…
Ya, ‘kan…?
Atau sudah berhentikah kamu berusaha…?
Cinta…?
Hela nafas…
“…
Kenapa, Kek…?”
Toleh…
Senyum lirih… Belai lembut…
“Tidak apa-apa…”
Polos, bulat…
Ingin tahu!
“Benarkah…?”
Masih belai, tunduk sedih…
“Kakek… Teringat…”
“Teringat apa?”
Wajah naik…
Terawang ingat…
Hening tanpa jawab…
Lama…
Hela nafas.
“Teringat… Kebodohan…”
“Kebodohan, Kek?”
“Ya, Nak… Kebodohan.”
Yang muda terdiam…
Ikut terawang, jelajah yang terlihat…
“Kek…”
“Ya?”
“Apa selalu seperti ini sejak dulu?”
Belai terhenti!
Jari menegang!
Keriput… Rasa bersalah…
Jelas…
“Tidak… Dulu tidak begini…”
Penasaran, polos…
“Oh ya? Dulu seperti apa?”
Perih…
Lewati kelam…
Tangan kiri naik…
“Sudah waktunya pulang, Nak.”
Berdampingan…
Jalan…
Lirih…
“Dulu, indah…”
Seret langkah susah payah…
Tangan kecil rapikan alat…
“Lalu…?”
Putar…
Nafas buatan…
“Kami berhenti mendengarkan…”
“Mendengarkan apa?”
Mata kuning penuh sesal…
Air kering dari mata…
Sakit menetes…
Badani…
Jiwani…
“Mendengarkan… Nyanyian mereka…”